Jadi gini ceritanya, waktu sisil ke perpustakaan eh ngeliat buku ini, referensi dari temen juga . She is Amanda Husna, waktu baca buku ini agak sedih, eh sedih banget deh, ampe mau nangis. Kasian banget wanita jaman dulu..hu...
Lets Read Girls,,,,
Ringkasan Buku MOMOYE Mereka memanggilku :
�Mengapa pemain sandiwara harus diperiksa kesehatannya sampai telanjang?� Pertanyaan itu muncul dalam benak Mardiyem, bocah berusia 13 tahun yang ingin bergabung dalam grup Pantja Soerja di Borneo sebagai pemain sandiwara. �Adik kan mau naik kapal, Borneo jaraknya jauh bisa dua sampai tiga hari di dalam kapal, jadi badannya harus sehat�,� jawab asisten dokter Soesroedoro yang membuka praktek di daerah Panembahan, Yogyakarta.Mardiyem masih tak habis pikir. Ia pun bertanya pada Zus Lentji, wanita keturunan Ambon yang menawarinya untuk menjadi penyanyi dan pemain sandiwara di Borneo. �Ini hanya untuk mencegah penyakit-penyakit saja! Karena kita akan pergi jauh. Nanti kalau ada apa-apa bagaimana? Nanti di sana tidak ada lagi pemeriksaan seperti itu lagi!� kata Zus Lentji (hal. 74).
Dan tibalah saatnya hari pemberangkatan ke Borneo sekitar bulan Agustus (atau September) tahun 1942. Selain Mardiyem, ada sekitar 40 anak perempuan lain yang berusia antara 16 � 22 tahun. Hanya 4 orang yang berusia 13 tahun, yaitu Mardiyem dari Pathuk, Soetarbini dari Tedjokusuman, Karsinah dari Tamansari, dan Jaroem dari Sosrowijayan. Meski mereka sama-sama menuju ke Borneo, tetapi masing-masing punya keinginan yang berbeda: ada yang ingin menjadi pelayan restoran, pembantu rumah tangga, maupun pemain sandiwara seperti Mardiyem. Namun, setiba di Borneo, mereka semua harus melakukan pekerjaan yang sama, yaitu sebagai Jugun Ianfu atau budak seks, yang menjadi tempat pelampiasan seks para tentara Jepang.
Setelah badanku berhasil dia pegang, tubuhku ditarik ke atas kasur, lalu dengan buas dia membuka stagen, kebaya, kain, dan kutang secara paksa, sampai kancing-kancing kebaya dan kutang copot semua�.Dalam keadaan setengah sadar dan kesakitan, aku ditinggalkan begitu saja�setelah dia berhasil melampiaskan nafsu lebih dari sekali. Belum sempat aku memakai baju, dalam keadaan badan telanjang dan darah mulai membasahi sprei kasur, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Secara bergiliran datang lagi serdadu Jepang kedua, ketiga, keempat, kelima, keenam, yang memaksaku melayani nafsu birahi mereka berkali-kali (hal. 100 � 101).
Mardiyem, bocah Jogja anak seorang abdi dalem Pekatik yang sehari-hari bertugas mengurus kuda dan kereta itu, urung menjadi penyanyi dan pemain sandiwara. Sehari-hari ia harus melayani nafsu para serdadu Jepang di kamar No. 11 Asrama Telawang, Kalimantan Selatan. Di asrama ini Mardiyem mendapat nama baru, Momoye, yang katanya merupakan nama salah seorang penyanyi panggung terkenal di Jepang pada masa itu. Meski Mardiyem bermimpi menjadi penyanyi dan pemain sandiwara, tetapi nama Momoye yang dilekatkan pada dirinya, hanya menorehkan luka jiwa sepanjang hayat.
Kini, di hari tuanya (78 tahun), Mbah Mardiyem terus berjuang. Tahun 1993 ia memutuskan mengadukan nasibnya sebagai korban Jepang ke LBH Yogyakarta yang kemudian membawanya melakukan perjalanan ke luar negeri pertama pada tahun 1995, yaitu ke Jepang sebagai upaya awal membuka masalah Jugun Ianfu Indonesia di forum internasional. Setahun kemudian Mbah Mardiyem mendapat undangan dari salah seorang dosen di Jepang untuk mensosialisakan sejarah dan masalah Jugun Ianfu di kampus-kampus. Jugun Ianfu bukanlah praktik pelacuran karena tidak dilakukan secara sukarela, namun merupakan sistem perbudakan sistemis yang dilakukan militer Jepang untuk memenuhi kebutuhan seks militer dan sipil Jepang.
Mbah Mardiyem, terus berjuang mencari keadilan dan kebenaran, meski ia harus menahan amarah mendengar ucapan para tetangganya, �kok ke luar negeri terus tapi tidak pernah ada hasilnya?� (hal. 213)
Segitu kutipanya kalau mau baca beli aja ya, seru koq.... dan banyak memotivasi kita ^__^